Pemaksaan Persetubuhan Anak Dengan Hewan

Abstract

Fenomena anak yang terlibat dalam kejahatan seksual merupakan hal yang 
memprihatinkan. Dengan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan, Masyarakat berpendapat bahwa keadilan pada kasus ini semestinya tidak perlu dipertimbangkan berdasarkan usia karena perilaku pelaku telah melampaui batas seperti orang dewasa. Fakta bahwa anak di bawah umur dapat memiliki pemikiran kotor seperti itu dianggap sebagai sesuatu hal di luar nalar manusia normal, sehingga penghentian pemidanaan pada anak melalui diversi dikhawatirkan dapat melenyapkan efek jera seolah-olah anak kebal dari hukum. Kasus tersebut juga memicu kemarahan masyarakat lantaran perilaku yang dilakukan oleh pelaku anak tersebut sangat tidak bermoral, sedangkan menurut hukum di Indonesia, anak tersebut tidak dapat dikenai hukuman pidana dikarenakan pelaku anak masih di bawah umur. Hal ini dimuat pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), bahwa diversi dan keadilan restoratif diatur sebagai alternatif dalam menyelesaikan perkara tindak pidana anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelaku pemaksaan persetubuhan anak dengan hewan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Pasal 302 KUHP dimana pelaku menyuruh melakukan tindak penganiayaan hewan. Diversi 
wajib dipertimbangkan dalam penyelesaian perkara anak apabila tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun. Dasar hukum pelaksanaan diversi pada penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum oleh penyidik mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan, wajib diupayakan Diversi.